Perkenalkan, aku adalah Joko Tamak. Dari namaku saja sudah mencerminkan seperti apa diriku. Panggil saja JT agar singkat, ringkas dan tak bertele-tele. Aku ini seorang rektor, hobiku meneror, mengontrol dan memonitor segala yang kotor. Kedengarannya horor? Memang. Meskipun yang aku kerjakan nyaris tiada bedanya, namun aku lebih suka disebut rektor ketimbang diktator.
Belasan tahun menjadi kaisar di universitas, membuat tubuh rentaku ini semakin beringas, semuanya bisa aku peras. Aku bisa menciptakan regulasi dan mengeluarkan statuta semaunya, namanya juga berkuasa. Bebas lah. Emangnya kalian yang selalu nurut saat aku pecut? Hahaha . . . pengecut!
Dengan berada di posisi itu, maka sudah jelas kalau perkara uang aku tak kurang-kurang. Wajahku juga kebule-bulean. Setiap kali aku berangkat kerja melintasi trotoar, mahasiswiku yang molek dan cantik rutin menyapa “halo pak rektor, semangat sekali berangkat mengabdi meski tak mengendarai motor.”
Mengingat usia sudah senja, setiap pagi aku mengendarai mobil merah tua untuk pulang-pergi kerja. Namun terkadang juga berjalan kaki, selain baik untuk kesehatanku agar tetap tangguh mengendalikan universitas secara penuh, berjalan kaki membentuk citraku semakin menjadi-jadi.
Sehingga kalau aku sehat dan tak jelek-jelek amat, mahasiswi mana yang tak akan terpikat? Peraturan apa yang tak bisa kubuat? Dosen mana yang tak bisa kupecat? Mahasiswa mana yang ngeyel dan tak bisa kuberedel? Cuih!
Sebagai seorang diktator, ehh ralat, maksud saya rektor, banyak mahasiswa yang telah aku korbankan. Persetan. Toh mereka sudah lebih dulu aku buat pasif, sehingga semua sudah kondusif. Mentok, paling mereka hanya berdemo, mengkritisi dan buat petisi. Basi!
Mana berani mereka menggugat? Apalagi senat, semua sudah kusunat dengan kesibukan yang tak perlu, sampai-sampai mereka buta dan tak punya waktu. Hahaha kurang licik apa aku? Salah sendiri jadi pelajar kok tak peka situasi. Tahunya hanya membayar dan belajar. Tapi tak apa, yang aku butuh memang pelajar seperti itu. Sungguh memudahkan pekerjaanku.
Apalagi persma yang pernah merepotkanku itu sudah angkat kaki dari universitas ini. Iya, persma kudisan yang sempat berlagak heroik dengan mengangkat sejarah partai komunis di kota ini sudah aku buat tidak betah dan
Tinggal satu persma yang perlu disingkirkan. Persma sok kritis dan prinsipil yang namanya kelatin-latinan itu kerap juga memusingkan kepalaku. Hobinya mengungkit-ungkit masa lalu dan memojokkanku. Aku bukan superman, aku ini rektor, kok teganya dilecehkan oleh ilustrator. Superman menumpas kebajingan, aku membasmi kebajikan. Tolong dibedakan. Tolol!
Setidaknya kalau persma itu tak bisa kusingkirkan, jiwa-jiwa kritisnya bisa kubunuh dan kulenyapkan. Karena kalau terus aku biarkan, aku sendiri yang terancam. Dasar comberan semua!
Ngomong-omong soal tahta, kini aku sedang cemas-cemasnya. Ada orang yang masih satu kampung halaman denganku terpilih untuk melengserkan diriku dengan cara mengendap-endap dan tertutup. Gelarnya saja tak seberapa sudah mau macam-macam saja. Praktis, itu sungguh memuakkan bagiku.
Memangnya dia tidak ingat statuta yang kubuat? Atau jangan-jangan dia abaikan? Belum profesor kok mau tersohor. Jangan kira sekampung sama artinya dengan saudara bung! Tahu apa dia soal universitas?
Sudah tentu aku yang arogan ini akan ngambek. Kalau aku dilengserkan maka kuancam seluruh awak rezimku turut lengser sekalian. Enak saja, sudah lama aku susah payah untuk terus berlama-lama duduk di kursi tertinggi gedung rektorat, kok tiba-tiba digulingkan dengan tidak transparan. Huft, murahan. Cukup aku dan gerak-gerikku saja yang tidak transparan.
Coba perhatikan betul rekam jejakku. Dari mulai menyantuni satu persatu korban kasus usang soal kemelut, sampai mengubah aturan umur menjadi rektor supaya aku tetap absolut. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang kubuat, termasuk aku pilih sendiri siapa yang akan menjadi dekan.
Aku bahkan merentalkan fasilitas mahasiswa yang seharusnya gratis, menjadikan mahasiswaku sebagai kelinci percobaan tri semester, hingga merampok orang tua mereka secara santun demi membangun fakultas baru guna mendongkrak universitas ini lekas kaya raya atas nama gereja dan bangsa, atas nama agama, pendidikan dan pengabdian masyarakat.
Jujur, aku tak sudi melantik anak kencur. Gengsi dong lur. Lebih baik aku mengundurkan diri dan kalian semua akan kuancam. Mampus kau dikoyak-koyak ancaman. Siapa suruh menggantiku seenak dengkul, sudah tahu aku ngambekan. Pokoknya tidak ada rektor baru. Tidak ada yang bisa menggantikan diriku. Titik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar